Perguruan tinggi juga merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research & Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian
Gambaran yang sangat mengkhawatirkan sekaligus menyedihkan tentang kondisi Perguruan Tinggi kita pada saat ini, terutama dalam persoalan mutu yang akan dihasilkan oleh Perguruan Tinggi kita. Majalah Asia Week edisi 30 juni 2006 melaporkan bahwa peringkat Universitas di Australia dan Selandia Baru dengan kategori yang kualitatif. Hasilnya sungguh sangat mengejutkan sekaligus menyadarkan kita bahwa Perguruan Tinggi favorit dan menjadi unggulan di negeri ini (UI, ITB, IPB, UGM, UNPAD) berada pada peringkat sepuluh terakhir dari 77 Universitas terkemuka di Asia, dibawah Malaysia, Filipina, India, Korea apalagi Singapura.
Berbicara masalah prospek pendidikan Tinggi di Indonesia kedepan dengan ancaman globalisasi maka kita mesti memperhitungkan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia menghadapi Era Pasar Bebas?
Tantangan Perguruan Tinggi Indonesia Era Pasar Bebas
Perdagangan bebas jasa yang dipraktekkan dalam globalisasi berwatak fundamentalisme pasar akan mempunyai dampak yang amat besar pada lembaga dan kebijakan pendidikan tinggi. Dampak tersebut amat bervariasi tergantung dari lokasinya di arena global, dapat membuka peluang atau menguntungkan tetapi dapat juga merupakan hambatan atau merugikan sektor pendidikan negara berkembang. Perdagangan bebas jasa pendidikan tinggi kalau dilaksanakan dalam kondisi interdependensi simetris antar negara atau lembaga pendidikan memang dapat membuka lebar pintu menuju ke pasar kerja global khususnya ke ekonomi negara maju yang telah mampu mengembagkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy).
Tapi dalam kondisi interdependensi asimetris dan lebih-lebih bila penyediaan jasa pendidikan tinggi lebih dilandasi oleh motif for-profit semata, sedangkan tujuan pendidikan lainnya akan dikorbankan. WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut:
Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah melalui internet dan on-line degree program, atau Mode 1;
Consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri atau Mode 2;
Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal., atau Mode 3, dan
Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokan, atau Mode 4.
Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negaranegara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.
Dibandingkan dengan negara-negara anggota Asean yang tergabung dalam Asean University Network (AUN) ataupun (Association of Southeast Asia Institute of Higher Learning (ASAIHL), seperti Malaysia, Muangthai, Filipina dan Singapore, Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi pendidikan tinggi dan mutu akademik. Pada tahun 2004 tingkat partisipasi pendidikan tinggi baru mencapai 14 persen, jauh tertinggal dari Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40 persen. Karena kemampuan keuangan pemerintah yang sangat terbatas, ekspansi serta peningkatan mutu pendidikan tinggi Indonesia tidak mungkin dilakukan dengan mengandalkan sumber dana domestik. Ekspansi pendidikan tinggi dan peningkatan mutu akademik nampaknmya hanya mungkn dilakukan bila layanan pendidikan tinggi oleh provider luar negeri yang dimungkinkan oleh globalisasi pendidikan dapat dimanfaatkan oleh negara berkembang seperti Indonesia.
Salah satu manifestasi globalisasi pendidikan tinggi adalah berkembangnya pasar pendidikan tinggi tanpa batas (borderless higher education market). Keterbasasan dana yang dialami oleh negara-negara berkembang, peningkatan permintaan akan pendidikan tinggi bermutu, serta kemajuan teknologi informasi adalah tiga faktor yang mendorong pertumbuhan “borderless” market dalam pendidikan tinggi.
Perguruan tinggi di negara-negara maju, terutama Ameriuka Serikat, Inggeris dan Australia amat agresif memanfaat the new emergiung market dengan meningkatkan penyediaan layanan pendidikan tinggi, tidak sepenuhnya dengan motif filantropis, tetapi dilandasi pertimbangan for-profit dengan menerima sebanyak mungkin mahasiswa luar negeri yang membayar penuh biaya pendidikannya, mendirikan kampus-kampus cabang di negara lain, waralaba pendidikan atau kesepakatan twinning dengan perguruan tinggi lokal, menyediakan pendidikan jarak jauh atau e-learning.
Namun Perkembangan-perkembangan ini perlu diantisipasi dengan sebaik-baiknya agar masyarakat negara berkembang dapat menarik manfaatnya dari penyediaan jasa pendidikan secara global tetapi tanpa harus mengorbankan kepentingan-kepentingan nasional untuk mempreservasi budaya bangsa serta menicptakan kemandirian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang juga amat diperlukan oleh setiap bangsa.
Globalisasi atau liberalisasi pendidikan tinggi yang sedang terjadi melalui jalur pasar bebas memang harus dihadapi dengan sangat hati-hati oleh negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Implikasi jangka panjang dari globalisasi pendidikan tinggi tersebut belum sepenuhnya dapat di prakirakan, dan karena itu kewbijakan-kebijakan antisipatif perlu dirancang dengan secermat mungkin agar globalsasi tersebut jangan sampai menghancurkan sektor pendidikan tinggi seperti yangterjadi dengan globalisasi sektor pertanian.
Globalisasi dan liberalisasi pendidikan akan membawa efek negatif yang begitu besar bagi negara-negara dunia ketiga. Eksploitasi akan selalu digencarkan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara maju. Faktanya, Eksploitasi sumber-sumber daya yang melibatkan kekuatan asing dan kroni dari dalam negeri sendiri sudah menguras kekayaan bangsa ini. Gejala McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian gerakan neoliberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah.
Menurut Gorge Ritzer, Mc Donalisasi pendidikan ini membawa efek negatif terhadap nilai-nilai akademik serta intergritas lembaga pendidikan yang obyektif. Etika keilmuan telah mula merosot dan akan tergantikan oleh etika bisnis yang sangat merugikan perkembangan pendidikan tinggi sebagai Academic exellence. Namun Bukan berarti pendidikan tinggi harus menutup diri dari interaksi antara universitas dengan dunia bisnis, tetapi interaksi antara pendidikan tinggi dengan dunia bisnis jangan sampai mengakibatkan PT kehilangan integritasnya.
Terganggunya integritas pendidikan tinggi dikhawatirkan akan melahirkan Mc University dimana lembaga pendidikan tinggi berubah menjadi semacam lembaga tukang jahit yang hanya menanti pesanan para konsumen. Mc University ini akan melahirkan Mc Mahasiswa, yaitu mahasiswa yang hanya mengejar gelar sarjana dan bukan untuk mengejar integritas pribadi sebagai seorang sarjana.
Satu hal lagi! Jika privatisasi, liberalisasi, globalisasi dan Mc Donalisasi pendidikan pendidikan tetap dijalankan, kemana lagi orang-orang miskin di negara ini yang jumlahya lebih dari 70% berlindung? Apakah mereka masih punya mimpi mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi? Ataukah mereka tergilas oleh regulasi pemerintah yang berselingkuh dengan pecinta globalisasi? Pendidikan gratis, apakah hanya menjadi impian kosong saja? Ataukah negeri ini terlalu megah untuk orang-orang miskin itu? Ataukah liberalisasi, kapitalisasi dan privatisasi adalah pemenang dalam benturan ideologi ini?Wallahu’Alam