Thursday, October 23, 2008

Kontroversi Seputar RUU Pornografi

(oleh : Arif Atul M Dullah)

Beberapa pekan terakhir atau bahkan sejak beberapa bulan yang lalu kita sudah sering menyaksikan di media-media baik media lokal atau pun media nasional berita tentang akan segara disyahkannya RUU pronografi oleh DPR. Lantas muncul bermacam reaksi terhadap pantas atau tidaknya RUU tersebut baik oleh individu maupun kelompok. Beberapa aksi massa pun terjadi, baik itu dari kalangan yang menolak RUU tersebut namun tidak sedikit juga yang mendukung RUU tersebut.

Ada yang kemudian meneriakan penolakannya dengan alasan bahwa Negara ini bukan Negara Islam, Negara ini sangat multi agama, multi etnis, budaya nya pun berbeda. Sehingga UU tersebut tidak pantas di syahkan Ada juga yang mengatakan bahwa UU tersebut akan dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa, menghilangkan kebudayaan seperti di Papua dengan budaya koteka-nya misalnya. Dan masih banyak alasan lainnya.

KAMMI sebagai sebuah organ kesatuan Aksi memandang bahwa RUU tersebut adalah sebuah keniscayaan untuk segera di syahkan. Hal ini ditandai dengan Aksi-Aksi yang mereka lakukan untuk mendesak DPR segera mengesahkan RUU tersebut. Baik itu dengan membawa bendera KAMMI sendiri atau juga melakukan aksi gabungan dengan beberapa organ lain seperti yang baru-baru di laksanakan dengan nama “Aliansi Masyarakat Sul-Sel Peduli Moral Bangsa” dengan menggandeng kurang lebih 31 elemen gerakan baik Organisasi kemahasiswaan, LSM, dll.

Ada beberapa catatan KAMMI yang bisa menjadi gambaran sikap KAMMI terhadap RUU tersebut. Pertama, UU tersebut adalah sebuah kebutuhan. Bukan pada masalah bahwa bangsa ini adalah multi agama, multi etnis dengan budaya yang berbeda sehingga tidak dapat diterapkan di Negara ini. Masalahnya bukan pada bahwa Negara ini mayoritas penduduknya adalah Muslim sehingga UU tersebut harus segera ada. Tetapi, memang Undang-Undang tersebut memang harus ada untuk membendung arus Pornografi dan Pornoaksi sehingga dapat menyelamatkan moralitas masyrakat Indonesia terutama para pemuda yang notabenenya adalah generasi penerus kepemimpinan bangsa.

Kedua,ttindakan kekerasan seksual yang banyak kita saksikan baik itu di media atau pun mungkin terjadi disekitar kita, ada anak yang menghamili ibunya, ada seorang kakak menghamili adik kandungnya sendiri dan sebagainya, salah satu penyebab utamanya adalah akibat mereka sering menyaksikan film-film porno, dsb. Sehingga Undang – Undang ini perlu ada untuk membatasi semua media dan sarana pornografi.

Ketiga, bahwa UU tersebut dapat menghilangkan beberapa budaya di negeri ini sebut sajalah koteka di Papua, atau bahkan dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa adalah hal yang sangat tidak beralasan. Karena dalam UU tersebut tidak ada satu pasal pun yang kemudian dapat menghilangkan kebudayaan tertentu. Karena selama budaya tersebut berada pada wilayahnya, misalnya budaya koteka di Papua dilaksanakan disana, tentu saja itu bukanlah hal yang bersifat pornografi. Kecuali hal tersebut, di gunakan di luar wilayah Papua maka hal tersebut telah bersifat tindakan pornografi

Keempat, hampir seluruh fraksi (kecuali 2 fraksi, PDIP dan PDS) yang ada di DPR sebelumnya setuju untuk segera disyahkannya UU tersebut. Namun, belakangan sisa dua fraksi yang mendukung disyahkannya RUU tersebut (PPP dan PKS). Ada banyak muatan potitis terkait dengan PEMILU 2009, salah satunya mungkin ketakutan fraksi – fraksi tersebut kehilangan suara pemilih pada Pemilu 2009. Mereka lupa bahwa mereka adalah wakil-wakil rakyat yang punya tanggung jawab untuk menyelamatkan Generasi Muda bangsa, hari ini, besok dan untuk jangka waktu yang akan datang. Seharusnya, bukan kepentingan sesaat Politik Partai mereka. Tapi, mereka harus berpikir lebih jauh, tentang masa depan bangsa ini. Ketika, seharusnya anak muda, generasi muda bangsa ini menyibukkan diri dengan agenda-agenda dan prestasi yang membanggakan. Namun, ternyata mereka terpaksa melakukan tindakan kekerasan seksual, menghabiskan waktu hanya dengan menonton film-film porno di kamar mereka, dsb.