Saturday, April 7, 2007

From KAMI to KAMMI, sebuah catatan perjalanan aksi untuk Indonesia


Jakarta seperti tidak bisa menanggung bebannya siang itu, beban anak-anak muda yang urat nadinya telah penuhi diisi oleh semangat mengelegak menginginkan adanya wind of change---seperti lagunya scorpion---- almanak menunjuk pada angka 10 Januari 1966. dalam bahasa pewayangan ketika bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelip dan kekacauan di mana-mana, saatnya rakyat menantikan datangnya satria piningit, Sang ratu adil. Begitu pula Indonesia kala itu, bedanya yang datang bukan pendekar berotot kawat bertulang besi, mereka sekumpulan anak muda berjaket biru, kuning, berikat kepala warna-warni, bermodal keyakinan atas kebenaran. Kata chairil, Ini barisan tak bergenderang berpalu…kepercayan tanda menyerbu.. sekali berarti sudah itu mati. Mereka menamai diri KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) lahir 25 Oktober 1964 sebagai jawaban masalah bangsa yang sudah berlangsung kronis. KAMI adalah kumpulan organisasi pergerakan mahasiswa semacam GMNI, IMM, GMsos, PMKRI, HMI dan sebagainya. yang berhimpun dalam satu wadah perjuangan bersama. Dilandasi kesadaran kolektif bahwa semuanya adalah bagian terpisahkan dari sejarah perjuangan mahasiswa Indonesia, perjuangan rakyat Indonesia yang semakin jengah dengan keadaan. Pergulatan KAMI kala itu sejatinya adalah pergulatan untuk mencari hakikat mahasiswa Indonesia. Setelah Soekarno jatuh saatnya untuk mencari jati diri, mengidentifikasi kembali arah perjuangan. Setelah sebagian presidiumnya menjadi wakil-wakil mahasiswa di DPR-GR, mereka bukan lagi berbicara atas nama KAMI dan mahasiswa Indonesia, tapi masing-masing seiring kemauan induknya, mulailah bibit-bibit perpecahan itu muncul, sebagian tokoh-tokohnya berasumsi mereka telah murtad dari garis perjuangan, bungkam ketika harus bicara, diam ketika harus berteriak garang. Sebagian lagi beranggapan semuanya harus dikawal, mahasiswa punya pikiran yang lebih jernih ketimbang politikus mesti terus menjaga kemurnian cita-cita perubahan yang telah dibayar dengan ongkos kemanusiaan yang mahal, This Is Point of No Return, maka tidak ada lagi alasan untuk kembali, atau kita dipecundangi lagi.. Perpecahan semakin mengental, KAMI-pun menutup mata seiring perjalanan waktu. Indonesia berkabungSejarah ibarat alur sungai yang kadang berada dalam riak-riak kecil maupun besar, dan menumpahkan bebannya pada masa. Akan tiba saat dimana kesumpekan dan kebosanan terhadap kezaliman mengkristal dan akhirnya meluap pada momen yang tepat. Pemicu itu selalu akan timbul duluan, dan lazimnya---di manapun negara di dunia ini---bermula dari kebobrokan ekonomi yang dirasakan semua kalangan. Tahun 1998 (meskipun penulis sebenarnya sedikit bosan selalu mengungkit tahun ini) adalah tahun. yang maha penting bagi perjalanan bangsa, dimana sekali lagi mahasiswa sebagai kelompok yang selalu dikelilingi kegelisahan, kembali memnuhi jalan-jalan raya. Kali ini yang dibawa bukan lagi irama semacam “ganyang PKI”, “ Gantung mentri plintat-plintut”, atau “Hidup ABRI”, tapi kali ini suasananya sudah berubah namun pelaku-pelakunya sama ---masih mahasiswa--- dengan orang-orang yang berbeda. KAMMI pun muncul, dan segera saja menjadi fenomena, dipuji-puji karena kesolidannya, tak kurang pengamat politik semacam Eep Saefullah fatah, Arbi Sanit, dan sebagainya pernah mengomentarinya sebagai GM tersolid zaman ini. Namanya memang mirip, kecuali satu M yang membedakannya dengan pendahulunya ( dan bukan leluhurnya, sebab secara de facto maupun de jure KAMMI bahkan tidak punya hubungan kekerabatan dangan KAMI).Dua-duanya kita sudah mahfum akan kebesaran cerita-cerita demonstrasinya. Mereka yang membakar jalan dengan semangat muda, meski dilahirkan oleh zaman yang berbeda. KAMI ditelan sejarah setelah tidak mampu mempertahankan eksistensi, tak cukup bisa mengenal siapa dirinya setelah aksi-aksi heroik itu. Quo Vadis KAMI? Adalah pertanyaan yang dibawa sampai matinya. Mati dalam metamorfosis yang tak selesai. Tentang KAMMI, KAMMI lahir sebagai anak kandung dakwah tarbiyah, dan arah gerakannya pun selalu mengidentifikasikan diri sebagai oraganisasi kader (harokatut tajdid) dan organisasi pergerakan (haroktul amal). Dari segi perbedaan, kita akan sangat banyak menemukan titik-titik berseberangan antara kedua ormas mahasiswa ini. Mulai dari rahim yang melahirkannya, pola gerakan sampai ciri khas, simbol-simbol, dan jargon-jargon politiknya. KAMMI menawarkan cita-cita islam dalam setiap gerak dan lakunya, di lain sisi KAMI memproklamirkan diri bebas nilai (meskipun gagal dalam praktiknya, kareana banyaknya elemen berbeda prinsisp dalam batang tubuhnya). Semua sudah jelas dan kasat mata. Namun dimana-mana sebuah organisasi kesatuan aksi, akan berhenti pada satu titik pencarian jati diri ketika aksi demonstrsi sudah agak reda, yang tak seindah dulu lagi, atau semakin dirasa kurang efektif lagi sebagai alat pressure dan alat advokasi kepentingan rakyat, maka pertanayaan klasik: Quo Vadis (juga) KAMMI?Pencitraan KAMMI sebagai kumpulan orang-orang soleh yang bertindak politis adalah term yang tidak pernah boleh KAMMI lepaskan. Aksi yang dipahami sebagai salah satu kata dalam akronim KAMMI tidaklah mesti harus diubah, namun maknanya menuju ameliorasi, makna aksi yang lebih luas. Aksi tidak harus dipahami (sebatas) demonstrrasi, walaupun pada saat berdirinya pun memang ditujukan seperti itu. Sebagai kesatuan aksi an sich.. Pola pembentukan karakter muslim negarawan yang dipercobakan di KAMMI penulis pikir adalah salah satu jalan perubahan yang dalam tataran konsep sangat tepat untuk saat-saat ini. Tinggal instrumen-instrumen yang harus dipunyai untuk bejalan kearah sana. KAMI gagal dalam memformulasikan tawaran yang tepat untuk Indonesia saat itu, sekarang KAMMI sudah punya konsep, ia termaktub dalam pradigma gerakannya, tinggal bagaimana menawarkannya pada Indonesia. Jalannya bagaimana?Meminjam pemikiran Anis Matta yang berasumsi bahwa umur integrasi sebuah bangsa bukanlah diukur dari kemahfuman rakyat untuk menerima kesamaan ideologi, agama, ataupun gagasan nasionalisme bersama sebagai konsensus, tapi seumur sampai mana keadilan dan kebenaran diterapkan dalam sebuah sistem (negara) itu. Cukuplah menjadi pelajaran Uni Soviet dan pecahannya, beberapa negara islam yang pernah berada dalam satu pemerintahan, sampai yang terdekat Timor timur, mudah-mudahan Papua tidak menyusul: menurut mereka terserah di bawah bendera apa kami berdiri, yang jelas kami tidak dijadikan sapi perah di tanah kami sendiri. KAMMI mesti lebih peka dengan bagian ini, paling tidak lebih konsen ke gerakan advokasi dan pembelaan terhadap kepentingan rakyat. satu hal yang benar-benar dilupakan KAMI pasca kemenangan yang gilang-gemilang, konflik internal lebih mewarnai dan akhirnya memupus cita-cita semula. Pencerdasan masyarakat secara siyasish serta dakwah islam (dengan reliabilitas doktrin tarbiyah). Pencerdasan politik secara intens kepada masyrakat hal yang mutklak dilakukan, sampai rakyat Indonesia bangun tersadar bahwa keadilan tak selamanya merupa diri seperti pembagian barang hibah yang turun dari langit, tetapi harus dituntut dan diperjuangkan mati-matian. Penulis pikir KAMMI tidak akan pernah menderita yang namanya disorientasi gerakan, seperti “kakak-kakaknya” yang lain sesama GM, sepanjang tetap konsen pada gerakan dakwah dan advokasi yang merakyat, tidak eksklusif apalagi elitis.Seperti sebuah kalimat pembuka dalam film mengejar matahari yang sempat tayang di layar lebar kemain-kemarin katanya, hari ini bukanlah dimulai pada saat kita bangun dan membuka mata, tapi hari ini telah dimulai jauh sebelumnya, begitu pula gerakan dakwah dan perjuangan KAMMI semuanya berawal dari pergulatan dakwah bertahun-tahun, dan (sekali lagi) 1998 sekadar ”saluran” apa yang disebut sebagai tanggul kejumudan.. Bangsa membutuhkan jawaban atas 1001 problem rakyat, solusinya sudah ditangan, sekarang pandai-pandainya membumikan gagasan agar diterima, bukan sampai membuat rakyat resisten, dan malahan dianggap sebagai ancaman baru. KAMMI bukanlah KAMI, dan tak pernah ingin benar-benar---seperti KAMI---- yang sekali berarti sudah itu mati kata Chairil Anwar. Tapi KAMMI mesti menunjukkan diri berbicara lantang aku ingin hidup (kalau perlu) seribu tahun lagi sampai tidak ada lagi l’exploitasion de l’homme par’l homme, penghisapan manusia atas manusia lain, sampai islam diterima dengan ketertundukan yang sempurna. Tabik..


retno saputra swedye

No comments: