CATATAN SANG “DEMONSTRAN”
(Rihlah KAMMI Unhas, 20 Februari 2011 @ Sungai Taddeang, Maros)
Oleh Uswatun Hasanah Musa*
Hari ini matahari bersinar seperti biasa. Menggeliat perlahan, agak malu-malu. Ini pertanda bagus bagi sebagian orang. Mungkin sudah lama orang-orang itu menanti pakaian kering. Atau ingin bersepeda pagi-pagi tanpa gangguan hujan. Atau seperti beberapa orang disini, menyambut matahari untuk menemani mereka menuju suatu tempat yang lumayan jauh dari sini. Mereka adalah kami, pengurus KAMMI Komisariat Unhas periode ini. Harap-harap cemas, kami menanti agenda ini: Wisata Alam yang dirangkaikan Pra-DM 1 KAMMI Unhas.
Beberapa menit melewati pukul 06.30 pagi, saya tiba di tempat perkumpulan (maksudnya, masjid Al Aqsho tercinta). Sepertinya, saya pengurus yang pertama tiba dari segenap kaum hawa di KAMMI Unhas. Tapi tak berapa lama, pengurus lain bermunculan. Entah, rasanya saya semakin bersemangat. Selain karena semakin banyak yang berdatangan, tanda-tanda akan terwujudnya kegiatan ini semakin jelas, sejelas sinar matahari yang semakin meninggi. Untuk itu, kami menyempatkan mengambil gambar sebelum berangkat ke lokasi.
Setelah registrasi, ternyata jumlah peserta rihlah Alhamdulillah tidak sedikit, 31 akhwat dan 21 ikhwan. Beberapa jam menunggu peserta lain, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju Sungai Taddeang di Maros. Waktu keberangkatan, bisa dikatakan sangat melampaui target, yaitu menjelang pukul sembilan pagi, dimana matahari telah lumayan menyengat. Tiga angkot (bahasa kerennya, pete’-pete’) kami tumpangi. Dua untuk akhwat, satu untuk ikhwan.
Saya sangat percaya satu hal, bahwa setiap kita ingin mengadakan sesuatu, Allah tidak akan membiarkan rencana kita berjalan mulus begitu saja. Pasti akan ada masalah (Kak Rijalul Imam, Ketua KAMMI Pusat mengubah istilah masalah menjadi tantangan) yang akan menghadang. Saat kami melewati Masjid Besar Maros, kami dihadang oleh Pak Polisi “yang sangat baik hati dan tidak sombong”. Beberapa menit kami lalui dalam keadaan hati yang lumayan mendebarkan karena supir kami sedikit berbincang-bincang dengan Pak Polisi berseragam biru kelabu itu. Sayang sekali, saya lupa mengabadikan moment ini. Tapi, untung saja peristiwa ini selesai tanpa embel-embel “dana tak terduga”. Jadi, perjalanan kami dilanjutkan.
Saya pernah berkata pada beberapa orang bahwa akhwat KAMMI itu lebih kuat dari ikhwan. Sebenarnya ini mengandung makna seperti ini: akhwat KAMMI itu tidak bisa diremehkan, mereka tak lemah, mereka kuat, tak seperti perempuan-perempuan cengeng di luar sana. Hal ini saya buktikan selama perlajanan.
Mungkin sebagian dari pembaca tidak menduga bahwa di dalam angkot yang kami tumpangi terdiri dari 18 penumpang. Overload dari yang seharusnya. Maka terjadilah adegan yang lumayan memprihatinkan. Kurang lebih, posisi penumpang dalam angkot kami seperti ini:
* Satu orang di bangku supir yaitu supir itu sendiri (ya iyalah, masa’ kondektur)
* Dua orang ikhwan di samping pak supir.
* Tujuh orang dengan posisi yang lumayan menyedihkan, berdesak-desakan di belakang supir. Salah satunya adalah seorang bocah yang harus dipangku oleh seorang akhwat. Bocah ini adalah anak pak supir. Si bocah akhirnya harus tertidur di tengah perjalanan. Salah satu penumpang di deretan ini sangat memprihatinkan dengan posisi melayang.
* Empat orang pada deretan bangku lain terlihat setengah mati mempertahankan posisi duduknya. Sesekali mengusap keringat yang mengalir deras.
* Seorang akhwat mempertahankan posisi ruku’ di belakang antara deretan bangku penumpang. Kasihan sekali saya melihatnya. Untung saja pak supir tidak pernah melakukan rem dadakan. Jika terjadi, saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya akhwat yang satu ini.
* Seorang akhwat lain melantai bersama istri pak supir. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana panasnya duduk melantai karena disitu adalah sarang mesin angkot berada.
* Nah, terakhir. Ini posisi yang paling mengkhawatirkan: duduk di pintu angkot dengan tangan memegang salah satu sisi angkot. Inilah adegan yang paling mendukung hipotesa saya di atas: akhwat KAMMI memang kuat, tak bisa diremehkan. Selama perjalanan, saya hampir tak bisa menjauhkan pandangan dari akhwat ini, takut terjadi apa-apa padanya. Mungkin sedikit trauma karena salah satu Abang saya menemui Tuhannya dengan cara seperti itu. Tapi Alhamdulillah. Melihat wajahnya yang selalu tersenyum dan santai, saya menjadi tenang. Dan akhwat ini baik-baik saja sesampai di tempat tujuan.
* Oya, ditambah tumpukan ransel di tengah-tengah deretan bangku. Menambah nuansa sesak di angkot ini.
Beginilah gambaran suasana angkot kami. Mungkin hampir sama dengan kedua angkot lain.
Oke. Kurang lebih 1 jam perjalanan, sampailah kami di lokasi. Hm, rasanya agak lelah. Tapi mengingat perjalanan yang sesungguhnya belum dimulai, kami harus menyingkirkan jauh-jauh perasaan ini. Tempat persinggahan adalah (lagi-lagi) masjid. Tapi, sayang sekali, saya lupa namanya. Dan selanjutnya, sebelum kami menyusuri sungai, dilakukan pemanasan agar tidak terjadi kram otot dan sebagainya dalam perjalanan nanti.
Nah, ini dia. Perjalanan dimulai. Saya agak tegang. Cukup beralasan lah, karena saya ditugaskan sebagai “pe-dokumenter”, pengambil gambar selama teman-teman menyusuri sungai. Dan sebagai pelajar amatiran dalam hal “fotografi”, saya tertantang untuk mengambil gambar yang hasilnya memuaskan.
Untuk melaksanakan tugas ini, saya ditemani oleh seorang akhwat. Syukurlah. Karena itu berarti selama perjalanan pengambilan gambar, saya tidak akan sendiri. Dan asal tahu saja, akhwat ini adalah partner yang baik. Salah satu kebaikannya adalah: dia sama sekalii tidak mau di-foto, hehe.
Hm. Jangan kira pekerjaan mengambil gambar dalam kegiatan ini berjalan dengan mudah. Saya dan partner yang baik hati itu, hampir setengah mati mencari pijakan terbaik. Karena sisi sungai dipenuhi oelh semak dan batu-batu. Tapi, melihat kesulitan yang teman-teman hadapi, kami berdua melewati tantangan kami dengan penuh semangat. Meski sesekali harus merepotkan beberapa peserta ikhwan agar mencarikan jalan terbaik untuk kami (terima kasih untuk akh. Ilham dan akh. Ipul).
Yang membuat saya sesekali tersenyum dalam perjalanan adalah tingkah para peserta akhwat. Meski sangat jelas terlihat bahwa mereka kelelahan dan melalui perjuangan yang begitu keras, jika melihat saya di depan mereka, ekspresi mereka kontan berubah. Lalu, terdengarlah paduan suara dari “Bunga-Bunga Haraki” itu, “Kak Atuuuuuuuuunnnn….!! Kak Atuuuuuuuuunnnn….!! Foto disini doooonnngggg”. Alamak, benar-benar deh akhwat-akhwat ini. Lucu sekali melihat mereka. Dan, “Cheese…”, mereka pun berlomba-lomba memasang senyum terbaik.
Perjalanan semakin mengasyikkan ketika saya melihat sisi-sisi romantisme karya Sang Maha, Allah Swt, terhadap alam ini. Pertanyaan yang tidak sepatutnya ada, muncul begitu saja dalam benak saya, “Bagaimana Dia bisa menciptakan tempat seindah ini? Bagaimana Dia melakukannya? Lalu, bagaimana dengan tempat-tempat di belahan bumi yang lain, yang bagi orang-orang adalah surga?”. Saya rasa, inilah tiitk dimana saya harus bersyukur atas hidup. Sungguh. Akan sangat keterlaluan jika saat kami melihat indahnya sungai ini dan kami tidak pernah sekalipun memuji betapa MahaAgung Allah Swt. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (QS 55:55)
Dan akhirnya. Setelah melakukan perjalanan sejauh lebih dari tiga kilometer (ditambah rintangan-rintangan), kami sampai di tempat tujuan. Tidak terbayangkan perasaan saat itu, senang sekali. Setidaknya bisa beristirahat, dan….makan (hehe). Oya, plus shalat yang dijamak, dzuhur-ashar. Huwah, lelah. Tapi menyenangkan. Apalagi ditambah beberapa kisah lucu sebelumnya (agak dirahasiakan karena ini menyangkut penulis, hehe).
Taujih berakhir. Dilanjutkan dengan ta’aruf bersama pengurus KAMMI Unhas. Memang tidak semuanya, karena yang memperkenalkan diri hanya pengurus inti, termasuk saya, hehe. Hal yang harus ditekankan pada peserta adalah agar mereka mengikuti rangkaian acara ini yaitu Daurah Marhalah 1 (DM1) KAMMI Unhas. Karena kegiatan ini adalah awal dari gerbang menuju KAMMI Unhas.
Dan, begitulah. Perjalanan kami selesai. Saatnya kembali ke tempat dimana kami menitipkan ransel-ransel kami. Nah, disini kami harus menunggu kedatangan angkot kesayangan kami ( J ). Tapi, tak ada salahnya jika menunggunya dengan menghabiskan uang: makan jagung, roti, permen, gogos dan minum bergelas-gelas air. Sepertinya, kami adalah sebuah berkah untuk kios-kios yang menjadi sasaran “anarkisme” kami, hoho. Saking serunya berekspresi bersama makanan, saya lupa mengabadikan moment special ini.
Angkot datang. Dan kami pulang. Ternyata waktu menunjukkan hampir pukul lima sore. Seringkali, waktu berjalan tanpa kita sadari. Ia seenaknya saja melewati keseharian kita tanpa peduli, tanpa pernah mau menunggu. Kadang, waktu memang makhluk yang sangat angkuh, tak bertuan.
Pada perjalanan pulang, entah, saya tak henti-henti tersenyum sendiri. Kenangan ini terlalu indah untuk saya, setelah saya melewati masa sulit di ruang serba putih beberapa bulan lalu. Sungguh, sangat indah. Kelak, saya akan menceritakan pada penerus bangsa bahwa: SIAPAPUN YANG TAK TURUT SERTA DALAM KEGIATAN INI, SANGATLAH RUGI!
The End.
PS:
* Ada akhwat tenggelam dalam perjalanan, tapi saya tidak melihatnya
* Seorang akhwat sangat ketakutan ketika melewati jembatan sehingga diberi semangat dari berbagai penjuru angin
* Seorang ikhwan harus jongkok melewati jembatan. Dua kamera di tangan adalah pembenarannya.
* Dan ya, ikon moment hari itu adalah: JEMBATAN! Hehhe..
*Koordinator Humas KAMMI Unhas 2010-2011